Cedera Angkle : Penjelasan dan Penanganan

Cedera pada pergelangan kaki atau yang dikenal juga dengan cedera angkle, adalah salah satu masalah kesehatan yang umum terjadi pada setiap orang. Cedera ini bisa terjadi karena berbagai alasan seperti olahraga, kecelakaan, atau aktivitas sehari-hari yang berisiko tinggi. Cedera angkle juga bisa menyebabkan rasa sakit, pembengkakan, dan kesulitan bergerak yang signifikan, sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup dan kinerja seseorang.

Read More

PENCEGAHAN DAN PERAWATAN CEDERA

Pencegahan dan perawatan cedera adalah aspek yang sangat penting untuk menjaga gaya hidup sehat dan aktif.  Cedera tidak semata-mata hanya terjadi pada atlet saja, tetapi siapapun dapat mengalami cedera. Cedera olahraga merupakan cedera yang terjadi pada sistem otot, tulang, persendian ataupun sistem tubuh yang lainnya akibat berolahraga (Hamid, 2018). Cedera yang terjadi akan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Cedera juga akan mempengaruhi performa pada atlet sehingga berimbas pada prestasi. Baik Anda seorang atlet, penggemar kebugaran, atau hanya seseorang yang ingin tetap aman dan bebas dari cedera, penting untuk memahami cara mencegah cedera dan cara merawatnya secara efektif jika memang terjadi.

Pencegahan cedera dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut.

  • Melakukan pemanasan dan peregangan

Sebelum melakukan aktivitas fisik apapun mulailah dengan pemanasan yang tepat. Ini membantu meningkatkan aliran darah ke otot sehingga membuatnya lebih fleksibel dan tidak mudah cedera. Lakukan juga peregangan secara teratur untuk meningkatkan fleksibilitas dan rentang gerak.

  • Teknik latihan yang sesuai

Pelajari dan gunakan teknik yang sesuai  saat melakukan latihan, berolahraga, ataupun aktivitas fisik lainnya. Teknik yang salah dapat meningkatkan resiko  terjadinya cedera

  • Porsi latihan yang sesuai dan bertahap

Sesuaikan porsi latihan dengan kemampuan dan kebutuhan. Tingkatkan intensitas, durasi, atau beban aktivitas secara bertahap. Lonjakan intensitas yang tiba-tiba dapat menyebabkan cedera akibat penggunaan berlebihan.

  • Gunakan perlengkapan yang sesuai

Pakailah sepatu yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Gunakan pakaian yang sesuai dengan aktivitas yang akan dilakukan.

  • Cross training

Kombinasikan beberapa gerakan untuk menghindari penggunaan kelompok otot dan persendian tertentu secara berlebihan.

  • Pola makan sehat

Makanlah makanan yang sehat dengan nutrisi yang sesuai untuk mendukung kesehatan otot, tulang dan persendian.

  • Istirahat dan pemulihan

Berikan waktu yang cukup bagi tubuh Anda untuk beristirahat dan memulihkan diri di antara latihan atau aktivitas intens. Perhatikan apabila merasakan ketidaknyamanan atau rasa sakit pada tubuh. Jangan mengabaikan rasa sakit karena dapat menyebabkan cedera yang lebih serius.

Apabila sudah terjadi cedera berikut adalah beberapa perawatan yang dapat dilakukan.

  • Fase akut

Fase akut adalah fase pertama terjadinya cedera sampai 72 jam pasca cedera. Sangat penting untuk menangani cedera pada 24 jam pertama setelah terjadi cedera. Untuk mencegah cedera akut menjadi semakin parah maka dapat dilakukan metode RICE ( Rest, Ice, Compression, Elevation).

  • Rest

Apabila terjadi trauma pada jaringan maka akan terjadi kerusakan pembuluh darah sehingga membuat darah keluar ke sekeliling jaringan yang rusak. Oleh karena itu, istirahatkan bagian yang cedera agar tidak semakin memperburuk keadaaan.

  • Ice

Kompres bagian cedera dengan es yang terbungkus kain tipis selama 10-15 menit setiap 3 jam sekali. Es berfungsi untuk mengurangi pembengkakan, rasa sakit atau nyeri karena es dapat memperlambat aliran darah dengan mekanisme vasokonstriksi.

  • Compression

Gunakan perban elastis untuk mengurangi pergerakan dan pembengkakan. Pemasangan perban elastis harus disesuaikan agar tidak terlalu kencang karena dapat menghambat aliran darah sehingga dapat menambah pembengkakan dan menimbulkan rasa sakit.

  • Elevation

Posisikan bagian yang cedera lebih tinggi dari posisi jantung untuk meminimalisir pembengkakan.

 

  • Fase Kronis

Fase kronis merupakan fase setelah 72 jam pasca cedera. Pada fase ini terapi panas dan massage halus juga sudah boleh dilakukan. Terapi panas atau heat treatment bertujuan untuk meningkatkan aliran darah dan dapat mengurangi kekakuan otot sehingga dapat mengurangi rasa sakit. Terapi panas dilakukan selama 10-15 menit. Berikut adalah beberapa metode terapi panas yang dapat dilakukan dengan modalitas sebagai berikut.

  • Ultrasound

Ultrasound berfungsi untuk melancarkan dan meningkatkan aliran darah lokal, meningkatkan metabolisme sel dan jaringan, serta dapat meredakan rasa sakit. Ultrasound dapat digunakan pada sprain ligament,strain otot, ataupun spasme otot (Hamid, 2018).

  • TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)

TENS berfungsi untuk meredakan rasa sakit, menghilangkan spasme otot, mengurangi pembengkakan, dan meningkatkan aktivitas sel. Terapi modalitas TENS tidak hanya digunakan pada fase kronik namun juga dapat digunakan pada fase akut (Hamid, 2018).

 

Pemberian obat pereda nyeri seperti ibuprofen atau acetaminophen dapat membantu mengatasi rasa sakit dan mengurangi peradangan Tingkat keparahan cedera setiap orang pasti berbeda-beda dari cedera ringan sampai cedera serius. Cedera serius mungkin memerlukan perhatian medis khusus, termasuk pembedahan dan rehabilitasi jangka panjang. Jika Anda tidak yakin tentang tingkat keparahan cedera, sebaiknya konsultasikan dengan dokter atau terapis fisik terdekat agar mendapatkan penanganan cedera yang sesuai sehingga tidak memperparah cedera yang ada. Ikuti latihan dan terapi rehabilitasi yang direkomendasikan untuk mendapatkan kembali kekuatan, fleksibilitas, dan fungsi di area cedera. Secara bertahap perkenalkan kembali area yang cedera ke aktivitas fisik sesuai dengan arahan terapis atau tenaga profesional yang menangani cedera Anda.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hamid, J. (2018). Cedera Olahraga Dalam Perspektif Ilmu Kedokteran Olahraga (S. K. dr. Donny Kurniawan (ed.); 1st ed.). CV.SARNU UNTUNG.

Herdiandanu, E., & Djawa, B. (2020). Jenis Dan Pencegahan Cedera Pada Ekstrakurikuler Olahraga Futsal Di SMA. Jurnal Pendidikan Olahraga Dan Kesehatan, 08, 97–108. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-jasmani/article/view/37006

Khadavi, M. R., & Ulfah, W. A. (2019). Workshop Pelatihan Pencegahan Dan Perawatan Cidera (PPC) Guru Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar Kecamatan Gerunggung Kota Pangkalpinang. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 3, 1–25. https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/alq/article/download/619/203/

Setiawan, A. (2011). Faktor Timbulnya Cedera Olahraga. Media Ilmu Keolahragaan Indonesia, 1(1), 5.

Siregar, F. S., & Nugroho, A. (2022). Pengetahuan Atlet Terhadap Resiko, Pencegahan, Dan Penanganan Pertama Cedera Olahraga Bola Voli. Jurnal Olahraga Dan Kesehatan Indonesia, 2(2), 83–93. https://doi.org/10.55081/joki.v2i2.601

Sukarmin, Y. (2015). Cedera Olahraga Dalam Perspektif Teori Model Ekologi. Medikora, 1, 11–22. https://doi.org/10.21831/medikora.v0i1.4702

CEDERA PADA TANGAN DAN PENANGANANNYA

Tangan merupakan anggota gerak tubuh yang sangat penting dalam aktivitas sehari-hari. Cedera pada tangan dapat terjadi kapan saja dengan berbagai sebab, mulai dari cedera ringan hingga yang membutuhkan perawatan medis. Cedera pada tangan tentu saja akan mengganggu aktivitas sehari-hari dimana dapat menyebabkan keterbatasan gerak pada tangan karena timbulnya rasa nyeri, bengkak, kaku, mati rasa, kesemutan dan lain sebagainya. Cedera pada tangan dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya kecelakaan, gerakan berulang dalam jangka waktu lama, mengangkat beban yang berlebihan, kesalahan teknik pada saat olahraga, atau sebab yang lainnya.

Terdapat beberapa macam cedera yang dapat terjadi di tangan, diantaranya yaitu Tendinitis Trisep Dan Tendinitis Bisep, Tennis Elbow, Golfer’s Elbow, Carpal Tunnel Syndrome, Fraktur, Dan Mallet Finger.

Tendinitis trisep dan tendinitis bisep merupakan inflamasi atau peradangan yang terjadi pada tendon trisep dan tendon bisep. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan tendon yang terlalu membebani dan berulang-ulang. Penderita biasanya mempunyai riwayat cedera pada bahu. Penderita tendinitis trisep akan mengeluhkan sakit pada siku bagian posterior yang apabila melakukan gerakan ekstensi penuh akan terasa nyeri atau sakit. Sedangkan penderita tendinitis bisep akan mengeluhkan sakit dan terjadi kelemahan pada otot bisep.

Tennis elbow adalah peradangan yang terjadi pada siku bagian luar (lateral) akibat penggunaan berlebihan yang melibatkan perpanjangan pergelangan tangan berulang kali melawan resistensi, meskipun dapat terjadi sebagai cedera akut (trauma pada siku lateral). Umumnya akan muncul rasa sakit dan nyeri tekan di siku bagian luar (lateral) dan akan bertambah parah apabila melakukan aktivitas. Biasanya beberapa penderita ini akan merasakan sakit yang menjalar sampai lengan bawah dan akan menimbulkan kelemahan pada tangan dan pergelangan tangan. Sesuai namanya tennis elbow banyak dialami oleh pemain tennis, namun tidak hanya itu para pekerja yang menggunakan alat berat atau melakukan tugas mencengkeram atau mengangkat berulang-ulang dapat mengalami cedera ini.

Golfer’s elbow adalah peradangan yang terjadi pada siku bagian dalam (medial) akibat penggunaan berlebihan yang berulang-ulang pada tendon fleksor pergelangan tangan yang ada di siku. Umumnya akan muncul rasa sakit dan nyeri pada siku bagian dalam dan akan semakin sakit apabila digunakan untuk beraktivitas. Pusat nyerinya ada pada tonjolan tulang siku bagian dalam dan menjalar sampai ke lengan bawah. Pada beberapa kasus penderita merasakan kelemahan pada pergelangan tangan saat melakukan fleksi. Cedera ini tidak hanya dialami pemain golf atau atlet saja, namun siapa saja dapat mengalaminya.

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan kondisi dimana terhimpitnya saraf pada pergelangan tangan yang diakibatkan karena beberapa kondisi seperti penggunaan berulang yang berlebihan pada tangan, terkilir, adanya retakan, dan faktor kehamilan. Seseorang yang mengalami carpal tunnel syndrome biasanya akan merasakan sakit, mati rasa, kesemutan, kaku pada pergelangan tangan, mengalami kelemahan dan sakit pada beberapa jari tangan, bengkak, dan terganggunya ruang gerak pada tangan.

Fraktur merupakan kondisi dimana tulang patah yang menjadikan tulang retak atau pecah, hal ini dapat mengakibatkan perubahan pada bentuk tulang. Patah tulang dapat terjadi pada tulang mana saja, salah satunya pada tangan. Patah tulang dapat terjadi karena benturan yang sangat keras. Patah tulang ditandai dengan rasa sakit yang teramat sangat, pembengkakan, kelemahan pada jaringan sekitar tulang yang patah, dan pastinya terganggunya gerak. Fraktur dibedakan dalam 2 jenis, yaitu fraktur tertutup atau fraktur terbuka (ketika tulang yang patah menembus jaringan kulit).

Mallet finger merupakan cedera yang terjadi pada jari tangan akibat kerja tendon pada jari yang berlebihan akibat olahraga maupun aktifitas lainnya. Biasanya banyak dialami atlet voli, basket, atau baseball. Cedera ini biasanya ditandai dengan rasa sakit apabila meluruskan jari dan terjadi kelemahan pada jari-jari tangan.

Keluhan cedera diatas harus ditangani dengan benar. Beberapa kasus cedera membutuhkan tes radiologi seperti rontgen, MRI, atau CT Scan untuk memastikan kondisi cedera yang terjadi agar penanganan yang dilakukan dapat sesuai dan benar sehingga tidak memperburuk keadaan cedera. Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera, seperti melakukan pemanasan dan pendinginan sebelum dan setelah berolahraga, melatih kekuatan dan fleksibilitas otot, perbaiki teknik latihan, sesuaikan beban latihan atau beban kerja sehinggan tidak terlalu membebani tangan, dan lakukan recovery yang cukup.

 

DAFTAR PUSTAKA

Donaldson, O., Vannet, N., Gosens, T., & Kulkarni, R. (2014). Tendinopathies Around the Elbow Part 2: Medial Elbow, Distal Biceps and Triceps Tendinopathies. Shoulder and Elbow, 6(1), 47–56. https://doi.org/10.1111/sae.12022

Al-Muqsith, M. S. (2018). ANATOMI DAN BIOMEKANIKA SENDI SIKU DAN PERGELANGAN TANGAN (M. . dr. Meutia Maulina (ed.); I). Unimal Press. www.unimal.ac.id/unimalpress.

Hamid, J. (2018). Cedera Olahraga Dalam Perspektif Ilmu Kedokteran Olahraga (S. K. dr. Donny Kurniawan (ed.); 1st ed.). CV.SARNU UNTUNG.

Lamaris, G. A., & Matthew, M. K. (2017). The Diagnosis and Management of Mallet Finger Injuries. Hand, 12(3), 223–228. https://doi.org/10.1177/1558944716642763

Lin, J. S., & Samora, J. B. (2018). Surgical and Nonsurgical Management of Mallet Finger: A Systematic Review. Journal of Hand Surgery, 43(2), 146-163.e2. https://doi.org/10.1016/j.jhsa.2017.10.004

Orchard, J., & Kountouris, A. (2011). The management of tennis elbow. Bmj, 342(7808), 1–5. https://doi.org/10.1136/bmj.d2687

CEDERA SHOULDER

Keluhan cedera akibat olahraga ataupun aktivitas sehari-hari banyak dialami oleh semua orang dari berbagai kalangan. Lokasi terjadinya cedera berbeda-beda setiap individunya, salah satunya dapat terjadi dibagian bahu. Bahu terlibat dalam banyak gerakan yang diperlukan dalam fungsi sehari-hari. Keluhan cedera pada bahu dapat mengganggu dan membatasi kegiatan atau aktivitas sehari-hari seseorang. Cedera dapat diakibatkan karena kekuatan luar yang menimpa tubuh melebihi daya tahan jaringan tubuh itu sendiri. Cedera dapat mengenai tulang, saraf, otot, tendon, sendi, maupun ligamen.

Terdapat beberapa keluhan cedera bahu yang umum terjadi yaitu Frozen Shoulder, Rotator Cuff Disease, Superior Labrum, Biceps Tendinitis.

Frozen shoulder merupakan kondisi dimana terjadi kekakuan pada bahu yang disertai rasa nyeri. Ciri khas pasien dengan keluhan frozen shoulder adalah keterbatasan selektif yang menyakitkan dari gerakan bahu aktif dan pasif tertentu. Diabetes mellitus adalah kondisi yang paling sering dikaitkan dengan frozen shoulder. Prevalensi gabungan dari predisposisi diabetes dan frozen shoulder diperkirakan setinggi 71,5%. Sekitar setengah dari pasien ini telah didiagnosis sebelumnya dengan diabetes Tipe I atau II, dan sisanya memiliki pra-diabetes dengan darah puasa abnormal. Tes toleransi glukosa atau glukosa. Penderita diabetes memiliki risiko seumur hidup 10% hingga 20% untuk mengalami frozen shoulder, dengan prevalensi poin 4% dan risiko dua hingga empat kali lebih besar daripada populasi umum (Robinson et al., 2012).

Rotator Cuff Disease atau penyakit rotator cuff adalah gangguan pada sekumpulan atau sekelompok otot dan tendon yang mengelilingi bahu yang menghubungkan humerus, scapula, dan clavicula. Gangguan rotator cuff yang banyak terjadi adalah robeknya salah satu dari otot atau tendon yang ada pada rotator cuff tersebut. Robeknya rotator cuff menyebabkan rasa nyeri yang menetap dan menimbulkan penurunan rentang gerak. Gerakan yang berulang dan berlebihan berdasarkan anatomi bahu pasien yang berbeda-beda dan trauma dapat menyebabkan cedera pada rotator cuff.

Superior Labrum atau yang biasa dikenal dengan robekan labrum adalah robekan yang terjadi pada struktur tulang rawan yang melapisi sendi bahu yang berfungsi sebagai stabilitas dan dapat memberikan perlindungan pada bahu . Robekan pada superior labrum ini dapat diakibatkan karena penggunaan bahu yang berlebihan, trauma berulang pada sendi bahu, terjatuh, dan menarik bisep secara mendadak. Robekan pada labrum biasanya menimbukan rasa yang sangat nyeri, kelemahan pada bahu, bahu menjadi tidak stabil, menurunnya rentang gerak serta penurunan performa pada atlet (Christensen et al., 2021). Untuk memastikan ada atau tidaknya robekan pada labrum pasien dapat melakukan pemeriksaan radiologi seperti rontgen, CT scan, atau MRI. Tindakan pembedahan untuk robekan labrum dapat dilakukan apabila cedera robekan semakin parah dan pemberian obat serta terapi fisik yang dilakukan tidak memberikan perubahan yang signifikan.

Biceps tendinitis merupakan peradangan pada caput otot biceps atau head long tendon biceps, karena lokasi tendon biceps di interval rotator, salah satu penyebab utama degenerasi biceps adalah iritasi mekanis tendon terhadap lengkungan coracoacromial sebagai akibat dari pemakaian berulang dan berlebihan, pengekangan jaringan lunak yang mengelilingi tendon biceps dapat kehilangan fungsi stabilisasinya dan dapat terjadi subluksasi atau dislokasi (Bushnell et al., 2012).

Pasien dengan tendonitis biceps atau iritasi biasanya mengeluhkan nyeri yang terlokalisasi di aspek anterior bahu mereka di sekitar alur bicipital. Sifat dan lokasi nyeri mungkin tidak jelas, terutama jika dikaitkan dengan rotator cuff bertabrakan atau ketidakstabilan bahu. Biasanya tidak ada riwayat trauma, temuan yang paling konsisten pada pemeriksaan fisik adalah nyeri tekan pada alur bicipital dengan lengan dalam rotasi internal 10 derajat, alur umumnya menghadap ke anterior dan dapat dipalpasi kira-kira 7,5 cm distal akromion. Nyeri pada alur bicipital dapat dibedakan dari nyeri bahu anterior dengan memutar lengan secara eksternal, seperti nyeri yang spesifik pada lengan. tendon harus bergerak kesamping.

Penanganan pada setiap cedera harus dilakukan dengan benar agar tidak terjadi cedera berulang, begitupun pada penanganan cedera bahu. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya cedera bahu, yaitu membawa beban yang tidak berlebihan, melakukan pemanasan atau warming up dan stretching untuk menyiapkan otot sebelum berolahraga, melatih kekuatan otot bahu, serta latihan dengan porsi dan tenik yang tepat. Apabila terjadi tanda-tanda cedera pada bahu, lakukan pertolongan pertama seperti pemberian RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation) dan dapat meminum obat pereda nyeri. Namun apabila hal diatas tidak memberikan efek yang signifikan segera konsultasikan pada ahli seperti dokter spesialis olahraga, fisioterapi atau sport theraphyst terdekat,

DAFTAR PUSTAKA
(Kim et al., 2004)(BM. Wara Kushartanti, 2015)(Kushartanti, 2015)(Robinson et al., 2012)(Christensen et al., 2021)(Satia Graha, 2015)(Bushnell et al., 2012) (Parentis et al., 2002) (Liaghat et al., 2022)

BM. Wara Kushartanti, N. A. ,. (2015). Pengaruh Terapi Masase, Terapi Latihan, Dan Terapikombinasi Masase Dan Latihan Dalam Penyembuhancedera Bahu Kronis Pada Olahragawan. Medikora, XII(1). https://doi.org/10.21831/medikora.v0i1.4582

Bushnell, B. D., Crosby, C. G., Anz, A. W., & Noonan, T. J. (2012). Proximal biceps tendon injuries. Sports Medicine of Baseball, 16(3), 162–169.

Christensen, G. V, Smith, K. M., Kawakami, J., & Chalmers, P. N. (2021). Surgical Management of Superior Labral Tears in Athletes: Focus on Biceps Tenodesis. Open Access Journal of Sports Medicine, Volume 12, 61–71. https://doi.org/10.2147/oajsm.s266226

Kim, D. H., Millett, P. J., Warner, J. J. P., & Jobe, F. W. (2004). Shoulder injuries in golf. American Journal of Sports Medicine, 32(5), 1324–1330. https://doi.org/10.1177/0363546504267346

Kushartanti, B. W. (2015). Terapi Latihan Pascacedera Bahu. Medikora, V(2), 212–226. https://doi.org/10.21831/medikora.v0i2.4685

Liaghat, B., Pedersen, J. R., Husted, R. S., Pedersen, L. L., Thorborg, K., & Juhl, C. B. (2022). Diagnosis, prevention and treatment of common shoulder injuries in sport: Grading the evidence – a statement paper commissioned by the Danish Society of Sports Physical Therapy (DSSF). British Journal of Sports Medicine, 408–416. https://doi.org/10.1136/bjsports-2022-105674

Parentis, M. A., Mohr, K. J., & ElAttrache, N. S. (2002). Disorders of the superior labrum: Review and treatment guidelines. Clinical Orthopaedics and Related Research, 400(400), 77–87. https://doi.org/10.1097/00003086-200207000-00010

Robinson, C. M., Seah, K. T. M., Chee, Y. H., Hindle, P., & Murray, I. R. (2012). Frozen shoulder. The Journal of Bone & Joint Surgery British, 94(1), 1–9. https://doi.org/10.1302/0301-620X.94B1.27093

Satia Graha, A. (2015). Identifikasi Macam Cedera Pada Pasien Klinik Terapi Fisik Fakultas Ilmu Keolahragaan Uny. Medikora, IX(1). https://doi.org/10.21831/medikora.v0i1.4645

CEDERA HIP DAN PELVIS

Cedera dapat terjadi dimana saja, seperti pada bagian hip dan pelvis, gluteus, dan otot hamstring. Cedera pada bagian-bagian ini tidak hanya terjadi pada atlet atau olahragawan saja, tetapi dapat terjadi juga pada masyarakat umum lainnya. Cedera ini dapat menyebabkan nyeri pada sekitar pinggang yang menjalar kebawah yang tak jarang sampai terasa pada kaki. Cedera ini dapat terjadi karena aktivitas olahraga, benturan, kecelakaan, mengangkat beban yang terlalu berat atau aktivitas sehari-hari yang beresiko tinggi. Terdapat beberapa jenis cedera yang umum terjadi pada daerah sekitar hip dan pelvis, yaitu Hip Strain Flexor, Hernia Nukleus Pulposus (HNP), Low Back Pain (LBP), dan Gluteal Tendinopathy.

Hip Strain Flexor atau ketegangan fleksor pinggul merupakan cedera yang terjadi karena adanya regangan atau robekan pada otot fleksor pinggul. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya stretching dan pemanasan sebelum berolahraga sehingga menyebabkan adanya ketegangan pada otot. Cedera pada area yang sama sebelumnya juga dapat menjadi penyebabnya. Penderita cedera ini akan mengalami rasa nyeri pada daerah depan panggul yang biasanya akan diperburuk saat mengangkat paha. Hal ini dapat mempengaruhi dan menghambat pergerakan sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) atau biasa disebut saraf kejepit adalah kondisi dimana adanya pergeseran pada ruas tulang belakang yang mengakibatkan tekanan pada saraf tulang belakang dan dapat terjadi penonjolan dari nukleus pulposus melalui serabut annulus diskus intervertebralis. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab tersering nyeri akar saraf dimana pasien mengeluhkan nyeri, kelemahan bahkan mati rasa pada punggung bawah. Rasa nyeri tersebut tentunya akan mengurangi ruang gerak sehingga dapat menghambat aktivitas sehari-hari. Hernia Nukleus Pulposus dapat disebabkan oleh kelemahan otot untuk menopang beban yang berlebihan, latihan beban, dan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas yang membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkat beban berat merupakan beberapa hal yang dapat menyebabkan HNP. Diagnosa untuk HNP dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti MRI. Apabila rasa nyeri yang dirasakan penderita tetap tidak bisa ditoleransi meskipun sudah menjalani terapi analgesik, pembedahan yang mendesak dapat dilakukan.

Low Back Pain (LBP) merupakan nyeri pada punggung bawah yang dapat disertai dengan nyeri kaki atau dapat juga tidak disertai dengan nyeri kaki. Rasa nyeri pada punggung bawah menimbulkan rasa tidak nyaman pada saat beraktivitas. Nyeri pada punggung bawah ini dapat timbul secara tiba-tiba atau bertahap, nyeri yang dirasakan dapat disertai dengan sensasi panas yang samar-samar dan menusuk dengan intensitas yang ringan hingga berat. Low back pain adalah masalah kesehatan yang sangat umum terjadi, hal ini dapat disebabkan oleh mobilisasi yang salah, kebiasaan posisi duduk, kelainan pada tulang belakang, kelemahan otot, sendi maupun struktur lain yang menopang tulang belakang, dan aktivitas yang membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkat beban berat. Terdapat juga beberapa faktor yang dapat mempengaruhi low back pain yaitu usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), masa kerja, kebiasaan merokok, aktivtas fisik dan riwayat penyakit terkait rangka dan riwayat trauma.

Gluteal tendinopathy adalah gangguan yang terjadi pada tendon gluteus atau disebut juga dengan sindrom nyeri trokanterik mayor. Gluteal tendinopathy ditandai dengan kelemahan, nyeri pada sekitar trokanter mayor pinggul, dan nyeri saat ditekan atau beraktivitas. Rasa sakit yang dialami juga dapat dirasakan pada saat berbaring miring sehingga menimbulkan gangguan tidur, dan rasa sakit juga dapat dialami saat berjalan dan menaiki tangga yang biasanya mengakibatkan penurunan tingkat aktivitas fisik. MRI dapat diakukan untuk mengetahui area robekan yang terjadi seperti robekan sebagian atau robekan keseluruhan dan juga mengetahui ketebalan tendon gluteus yang robek. Gluteal tendinopathy dapat terjadi karena kebiasaan atau teknik latihan yang buruk pada atlet, kelemahan otot, obesitas, dan kurangnya bergerak atau berolahraga.

Masalah-masalah kesehatan diatas harus ditangani dengan benar untuk menghindari cedera berulang. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan kemampuan otot untuk melakukan aktivitas yang mengharuskan mengangkat beban berat, melakukan stretching sebelum berolahraga, dan melakukan latihan dengan porsi dan teknik yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Babu, A., Gupta, A., Sharma, P., Ranjan, P., & Kumar, A. (2016). Blunt traumatic superior gluteal artery pseudoaneurysm presenting as gluteal hematoma without bony injury: A rare case report. Chinese Journal of Traumatology – English Edition, 19(4), 244–246. https://doi.org/10.1016/j.cjtee.2015.11.018

El-Husseiny, M., Patel, S., Rayan, F., & Haddad, F. (2011). Gluteus medius tears: An under-diagnosed pathology. British Journal of Hospital Medicine, 72(1), 12–16. https://doi.org/10.12968/hmed.2011.72.1.12

F., D. P., A., C., O., M., A., D., & R., S. (1998). Sports injuries in the pelvis and hip: Diagnostic imaging. European Journal of Radiology, 27(SUPPL. 1), S49–S59. http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=emed4&NEWS=N&AN=1998198385

Grimaldi, A., Mellor, R., Hodges, P., Bennell, K., Wajswelner, H., & Vicenzino, B. (2015). Gluteal Tendinopathy: A Review of Mechanisms, Assessment and Management. Sports Medicine, 45(8), 1107–1119. https://doi.org/10.1007/s40279-015-0336-5

Hammond, K. E., Kneer, L., & Cicinelli, P. (2021). Rehabilitation of Soft Tissue Injuries of the Hip and Pelvis. Clinics in Sports Medicine, 40(2), 409–428. https://doi.org/10.1016/j.csm.2021.01.002

Hoy, D., Brooks, P., Blyth, F., & Buchbinder, R. (2010). The Epidemiology of low back pain. Best Practice and Research: Clinical Rheumatology, 24(6), 769–781. https://doi.org/10.1016/j.berh.2010.10.002

Huang, B. K., Campos, J. C., Ghobrial, P., Chung, C. B., Pathria, M. N., & Frcp, C. (2013). Injury of the Gluteal Aponeurotic Fascia and Proximal Iliotibial Band. Radiographics, 1437–1453.

Ikhsanawati, A., Tiksnadi, B., Soenggono, A., & Hidajat, N. N. (2015). Herniated Nucleus Pulposus in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Indonesia. Althea Medical Journal, 2(2), 179–185. https://doi.org/10.15850/amj.v2n2.568

Jeon, K., Kim, T., & Lee, S. H. (2016). Effects of muscle extension strength exercise on trunk muscle strength and stability of patients with lumbar herniated nucleus pulposus. Journal of Physical Therapy Science, 28(5), 1418–1421. https://doi.org/10.1589/jpts.28.1418

Kawi, J. (2014). Chronic low back pain patients’ perceptions on self-management, self-management support, and functional ability. Pain Management Nursing, 15(1), 258–264. https://doi.org/10.1016/j.pmn.2012.09.003

Kelly, B. T., Maak, T. G., Larson, C. M., Bedi, A., & Zaltz, I. (2013). Sports hip injuries: assessment and management. Instructional Course Lectures, 62(February 2015), 515–531.

Ladurner, A., Fitzpatrick, J., & O’Donnell, J. M. (2021). Treatment of Gluteal Tendinopathy: A Systematic Review and Stage-Adjusted Treatment Recommendation. Orthopaedic Journal of Sports Medicine, 9(7), 1–12. https://doi.org/10.1177/23259671211016850

Lynch, T. S., Bedi, A., & Larson, C. M. (2017). Athletic hip injuries. Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, 25(4), 269–279. https://doi.org/10.5435/JAAOS-D-16-00171

Mellor, R., Grimaldi, A., Wajswelner, H., Hodges, P., Abbott, J. H., Bennell, K., & Vicenzino, B. (2016). Exercise and load modification versus corticosteroid injection versus “wait and see” for persistent gluteus medius/minimus tendinopathy (the LEAP trial): A protocol for a randomised clinical trial. BMC Musculoskeletal Disorders, 17(1), 1–17. https://doi.org/10.1186/s12891-016-1043-6

Meredith, D. S., Huang, R. C., Nguyen, J., & Lyman, S. (2010). Obesity increases the risk of recurrent herniated nucleus pulposus after lumbar microdiscectomy. Spine Journal, 10(7), 575–580. https://doi.org/10.1016/j.spinee.2010.02.021

N.E., F. (2011). Barriers and progress in the treatment of low back pain. BMC Medicine, 9. http://www.biomedcentral.com/1741-7015/9/108%5Cnhttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=emed10&NEWS=N&AN=2011566507

Neumann, D. A. (2010). Kinesiology of the hip: A focus on muscular actions. Journal of Orthopaedic and Sports Physical Therapy, 40(2), 82–94. https://doi.org/10.2519/jospt.2010.3025

Nicodemo, A., Decaroli, D., Pallavicini, J., Sivieri, R., Aprato, A., & Massè, A. (2008). A treatment protocol for abdomino-pelvic injuries. Journal of Orthopaedics and Traumatology, 9(2), 89–95. https://doi.org/10.1007/s10195-008-0003-9

Rusmayanti, M. Y., & Kurniawan, S. N. (2023). Hnp lumbalis. Journal of Pain Headache and Vertigo, 7–11. https://doi.org/10.21776/ub.jphv.2023.004.01.2

Vasseljen, O., Unsgaard-Tøndel, M., Westad, C., & Mork, P. J. (2012). Effect of core stability exercises on feed-forward activation of deep abdominal muscles in chronic low back pain: A randomized controlled trial. Spine, 37(13), 1101–1108. https://doi.org/10.1097/BRS.0b013e318241377c

CEDERA LUTUT (PENJELASAN DAN PENANGANANNYA)

Cedera lutut merupakan salah satu masalah kesehatan yang umum terjadi pada setiap orang, khususnya olahragawan. Cedera lutut menjadi cedera yang paling banyak dialami oleh kebanyakan atlet mulai dari sepak bola, futsal, dan olahraga lainnya.
Cedera lutut dapat terjadi karena aktivitas olahraga, kecelakaan, atau aktivitas seharihari yang beresiko tinggi. Seseorang yang mengalami cedera lutut akan merasakan sakit pada lutut yang umumnya disertai pembengkakan dan keterbatasan dalam bergerak sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari seseorang.

Terdapat beberapa jenis-jenis cedera pada lutut yang paling umum terjadi yaitu, cedera ligament ACL (Anterior Cruciate Ligament), PCL (Posterior Cruciate Ligament), MCL (Medial Collateral Ligament), LCL (Lateral Collateral Ligament), Meniscus injury (cedera pada bantalan sendi lutut), Patellar tendinitis (cedera tendon patella), Dislokasi, dan Osteoarthritis (peradangan pada sendi). Cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament) merupakan cedera yang paling sering dialami atlet.

Cedera ligament pada lutut terjadi karena perubahan kecepatan atau arah gerak secara tiba-tiba, benturan keras disekitar sendi, atau aktivitas yang menggunakan lutut secara berlebihan dan berulang sehingga menyebabkan robeknya ligament pada lutut atau sprain. Cedera ini dapat menyebabkan pembengkakan sehingga menimbulkan rasa nyeri yang hebat, dan terganggunya fungsi gerak. Ligament merupakan jaringan ikat yang menghubungkan tulang yang satu dengan yang lainnya.dan berfungsi sebagai stabilisator pada persendian. Ketidakstabilan lutut telah diidentifikasi sebagai faktor resiko kerusakan meniskus (bantalan sendi lutut) dan chondral (lapisan tulang rawan) sehingga dapat mengakibatkan osteoarthritis dini (Farshad-Amacker & Potter, 2013).

Cedera pada lutut juga dapat disebabkan oleh robeknya meniskus pada sendi lutut. Meniskus merupakan jaringan tulang rawan (fibrocartilage) yang berfungsi sebagai pelindung tulang femur dan tulang tibia saat bergerak agar tidak saling bergesekan. Cedera meniskus dapat terjadi karena memutar lutut secara berlebihan dan tiba-tiba sehingga menyebabkan adanya robekan pada meniskus. Cedera meniskus menimbulkan rasa sakit pada sekitar patela, sensasi seperti lutut “terkunci”, hingga terbatasnya gerak fleksi dan ekstensi.

Cedera patellar tendinitis merupakan cedera yang terjadi pada tempurung lutut yang diakibatkan tekanan berulang pada mekanisme ekstensor lutut, oleh karena itu banyak terjadi pada aktivitas olahraga yang banyak melibatkan gerakan melompat (Figueroa et al., 2016).

Jenis cedera selanjutnya yaitu dislokasi. Dislokasi merupakan cedera serius dimana tulang penyangga pada lutut tidak pada posisi yang seharusnya. Cedera ini dapat terjadi karena benturan terlalu keras pada lutut yang terjadi karena aktivitas olahraga atau kecelakaan. Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang hebat, pembengkakan, terbatasnya gerak lutut, dan dapat menimbulkan kejang otot (Robertson et al., 2006).

Osteoarthritis atau peradangan pada sendi merupakan gangguan degeneratif kronis pada sendi lutut yang terjadi karena kerusakan pada tulang rawan (cartilago). Gejala utama osteoarthritis yaitu nyeri, terjadi pembengkakan, penurunan rentang gerak dan terjadi kekakuan (Valderrabano & Steiger, 2011).

Penanganan pada cedera lutut harus dilakukan dengan benar agar tidak terjadi cedera berulang. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisir terjadinya cedera yaitu melakukan pemanasan atau warming up dan stretching untuk menyiapkan otot sebelum berolahraga, menggunakan sepatu yang sesuai, melakukan latihan sesuai porsi yang tepat, dan memperkuat otot quadriceps dan hamstring.

Daftar Pustaka
Abulhasan, J. F., & Grey, M. J. (2017). Anatomy and physiology of knee stability. Journal of Functional Morphology and Kinesiology, 2(4). https://doi.org/10.3390/jfmk2040034

Cavanaugh, J. T., & Powers, M. (2017). ACL Rehabilitation Progression: Where Are We Now? Current Reviews in Musculoskeletal Medicine, 10(3), 289–296. https://doi.org/10.1007/s12178-017-9426-3

Farshad-Amacker, N. A., & Potter, H. G. (2013). MRI of knee ligament injury and reconstruction. Journal of Magnetic Resonance Imaging, 38(4), 757–773. https://doi.org/10.1002/jmri.24311

Figueroa, D., Figueroa, F., & Calvo, R. (2016). Patellar tendinopathy: Diagnosis and treatment. Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, 24(12), e184–e192. https://doi.org/10.5435/JAAOS-D-15-00703

Ikhwan Zein, M. (2015). Cedera Anterior Cruciate Ligament (Acl) Pada Atlet Berusia Muda. Medikora, 11(2), 111–121. https://doi.org/10.21831/medikora.v11i2.2811

Micheo, W. F., Sepúlveda, F., Sanchez, L. A., & Amy, E. (2018). Anterior Cruciate Ligament Sprain. In Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation: Musculoskeletal Disorders, Pain, and Rehabilitation (Fourth Edi). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-323-54947-9.00063-8

Robertson, A., Nutton, R. W., & Keating, J. F. (2006). Dislocation of the knee. Journal of Bone and Joint Surgery – Series B, 88(6), 706–711. https://doi.org/10.1302/0301- 620X.88B6.17448

Schenck, R. C., Richter, D. L., & Wascher, D. C. (2014). Knee dislocations: Lessons learned from 20-year follow-up. Orthopaedic Journal of Sports Medicine, 2(5), 1– 10. https://doi.org/10.1177/2325967114534387

Setiawan, A. (2011). Faktor Timbulnya Cedera Olahraga. Media Ilmu Keolahragaan Indonesia, 1(1), 5.

Thacker, S. B., Stroup, D. F., Branche, C. M., Gilchrist, J., Goodman, R. A., & Kelling, E. P. (2003). Prevention of knee injuries in sports: A systematic review of the literature. Journal of Sports Medicine and Physical Fitness, 43(2), 165–179.

Valderrabano, V., & Steiger, C. (2011). Treatment and prevention of osteoarthritis through exercise and sports. Journal of Aging Research, 2011, 12–16.https://doi.org/10.4061/2011/374653

Wang, H., & Ma, B. (2022). Healthcare and Scientific Treatment of Knee Osteoarthritis. Journal of Healthcare Engineering, 2022. https://doi.org/10.1155/2022/5919686

Woo, S. L. Y., Abramowitch, S. D., Kilger, R., & Liang, R. (2006). Biomechanics of knee ligaments: Injury, healing, and repair. Journal of Biomechanics, 39(1), 1–20. https://doi.org/10.1016/j.jbiomech.2004.10.025

Apa itu Sport Therapist?

Sport therapist atau terapis olahraga adalah profesional tenaga olahraga yang secara khusus terlatih untuk membantu atlet dan individu aktif dalam mengurangi rasa sakit, mempercepat pemulihan, dan mencegah cedera saat berolahraga. Mereka mengkhususkan diri dalam penanganan cedera olahraga dan berbagai kondisi fisik yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik.

Read More